BUDAYA YANG MENGHAMBAT KEMAJUAN BANGSA
BUDAYA KORUPSI
Diakui atau tidak korupsi sudah
membudaya - atau dengan kata lain menjadi budaya - di tengah kehidupan bangsa
Indonesia atau secara spesifik di dunia politik dan birokrasi di Indonesia dan
yang berkaitan dengannya. Apabila ada sebagian pengamat, pakar, ilmuwan atau
anggota masyarakat yang menyangkal hal tersebut, barangkali hanya berusaha
berprasangka baik terhadap bangsanya sendiri, selebihnya - barangkali - menutup
mata dan telinga terhadap kenyataan yang ada.
Korupsi sebagai faktor penghambat
pembangunan dan kemajuan bangsa sudah saatnya dibedah dan diteliti dengan
seksama, baik asal muasalnya atau pun penyebarannya. Bisa jadi sifat korupsi
sudah membentuk gen tersendiri sehingga diperlukan juga pakar biologi molekuler
untuk turut mengungkap dan mengetahui sifat korup dari akarnya (sifat bawaan).
Bukankah sudah disinyalir dalam Islam bahwa makanan haram - baik zatnya maupun
cara memperolehnya - yang diberikan kepada seseorang dikhawatirkan akan
menjadikan anak keturunannya juga akan berperilaku buruk dan jahat ? Hal ini
hanya bisa dijelaskan oleh ilmu biologi molekuler yaitu adanya perubahan
genetik yang diturunkan pada generasi berikutnya yang berisi kode-kode genetik
sifat jahat (korup) tersebut. Atau dengan kata lain seorang koruptor akan
sangat memungkinkan untuk menurunkan keturunan yang juga menjadi koruptor
nantinya. Seperti kalau ditinjau dari ilmu genekeologi mungkin bisa dipelajari
sejarah keturunan seorang koruptor, apakah mungkin ada di antara nenek
moyangnya yang terlibat atau menjadi seorang koruptor juga.
Selain itu perlu juga dipelajari sistem
dan jaring penyebaran budaya korupsi. Bagaimana suatu kebiasaan yang pada
awalnya berasal dari ruang lingkup kecil - perorangan - bisa menjadi suatu
kebiasaan dan budaya yang melibatkan orang banyak. Dari hanya seorang koruptor
kemudian bisa menularkan sifat buruknya sampai ke tingkat bagian, biro,
departemen, sampai institusi negara. Dalam hal ini bisa dilibatkan pakar
komunikasi dan pakar IT (Teknologi Informatika) untuk mempelajari kemungkinan
adanya pengaruh perkembangan teknologi informasi seperti memasyarakatnya
penggunaan telepon genggam terhadap berkembangnya korupsi di Indonesia.
Korupsi dikatakan sebaga bentuk
kekerasan struktural, sebab korupsi yang dilakukan oleh para pejabat merupakan
bentuk penyelewengan terhadap kekuasaan Negara, dimana korupsi lahir dari
penggunaan otoritas kekuasaan untuk menindas, merampok dan menghisap uang
rakyat demi kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi Negara untuk melayani
kepentingan rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap bagi rakyatnya sendiri.
Relasi politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui pemerintah
sungguh tidak seimbang. Hal ini berakibat kepada munculnya aristokrasi baru
dalam bangunan pemerintahan kita. Negara dituding telah dengan sengaja
menciptakan ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat. Kemiskinan yang
semakin meluas, antrian panjang barisan pengangguran, tidak memadainya gaji dan
upah buruh, anggaran social yang semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan,
kesehatan, listril, BBM, telepon dll), adalah deretan panjang persoalan yang
menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit.
Bukankah ini akibat dari praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup?. Salah satu
fakta penitng yang bisa kita saksikan adalah bagaimana pemerintah dengan lapang
dada telah suka rela melunasi hutang-hutang Negara yang telah dikorup oleh
pemerintah Orde Baru dulu. Di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
pemerintah mengalokasi anggaran kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk
mebayar utang-utang luar negeri melalui IMF, Bank Dunia, Paris Club, CGI, serta
lembaga donor lainnya. Belum lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh Negara. Alokasi pemabayaran
utang-utang Negara akibat korupsi ini, akan menuai konsekuensi, yakni ;
membebankan pembayaran utang tersebut kepada rakyat indoensia yang sama sekali
tidak pernah menikmati utang-utang tersebut. Membebankan dengan memilih
mencabut anggaran dan subsidi social bagi masyarakat. Membebankan dengan
semakin terpuruknya nasib dan kehidupan masyarakat. Sungguh tidak adil,
“Koruptor yang menikmati, rakyat yang dikorbankan”!!!. Dari pemaparan tersebut,
maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek korupsi merupakan sebuah
bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja dibangun dan
diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakat sendiri.
BUDAYA
PEMICU KEMAJUAN BANGSA
BUDAYA
KRITIK DAN MENGKRITIK
Budaya kritik mengkritik menjadi modal utama karena
itu merupakan upaya untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Beberapa
keuntungan dari budaya kritik mengkritik adalah yang pertama, terbentuknya
sebuah keputusan atau kebijakan yang mampu untuk mencakup semua bagian tanpa
adanya satu dua pihak yang terugikan. Yang kedua, budaya kritik mengkritik
adalah upaya evaluasi untuk terus melakukan perbaikan dan juga kecocokan dengan
situasi karena dunia kehidupan itu dinamis sehingga terkadang perlu adanya
upaya untuk mereformasi suatu kebiasaan yang telah ada. Yang ketiga, terjadinya
suatu kebiasaan baru yakni budaya keterbukaan dan ini yang paling penting
karena budaya keterbukaan seperti ini menjadi penentu akan generalisasi
kesejahteraan. Tidak heran jika Negara Amerika menjadi pusat para Ilmuwan,
teoritikus dan juga para ahli disegala macam bidang karena mereka menjadikan
budaya kompetisi – dalam konteks kebaikan – untuk semua kehidupan masyarakat di
Negaranya.
Budaya
kritik mengkritik dalam suatu Negara bisa mencakup banyak hal seperti: politik,
edukasi, terkhnologi, kerja dsb. semua dituntut untuk senantiasa melakukan
upaya perbaikan dan hasil yang maksimal. Kehidupan (politik, edukasi,
tekhnologi) itu selalu terkait dengan kehidupan yang lain oleh karena itu
bagaimana caranya sebuah kehidupan individu maupun kelompok mampu memberikan
kontribusi yang baik bagi kehidupan lainnya.
Menengok kehidupan di
Indonesia yang kompleks dengan masalah di berbagai bidang alangkah baiknya
menerapkan dan juga mengadopsi budaya kritik mengkritik yang terbuka. Budaya
kritik mengkritik bisa disalurkan melalui banyak cara apakah melalui surat
menyurat, media massa, atau antitesa jika dalam lingkup akadimis. Dari sinilah
diharapkan timbul budaya kompetisi yang positif sehingga mampu secara bersama
memajukan Bangsa. Media massa diharapkan mampu menjembatani sebagai sarana
kritik mengkritik yang sopan dan etis. Baik media elektronik maupun tulis
diharapkan mampu untuk memberikan dan menyalurkan suara, opini dan kritik suatu
pihak kepada pihak yang lain. Efek dari adanya media massa akan menyebabkan
efek kritik yang “booming” karena kritik dan opini akan dibaca semua orang
bukan hanya pihak yang sedang dikritik.
mantap infonya bro thanks lutfimiftahudin.blogspot.com , sampahin aja comentnnya :D salam 1ia19
BalasHapus