Jumat, 22 Maret 2013

Budaya yang Menghambat dan Memicu Kemajuan Suatu Bangsa


BUDAYA YANG MENGHAMBAT KEMAJUAN BANGSA

BUDAYA KORUPSI

Diakui atau tidak korupsi sudah membudaya - atau dengan kata lain menjadi budaya - di tengah kehidupan bangsa Indonesia atau secara spesifik di dunia politik dan birokrasi di Indonesia dan yang berkaitan dengannya. Apabila ada sebagian pengamat, pakar, ilmuwan atau anggota masyarakat yang menyangkal hal tersebut, barangkali hanya berusaha berprasangka baik terhadap bangsanya sendiri, selebihnya - barangkali - menutup mata dan telinga terhadap kenyataan yang ada.


Korupsi sebagai faktor penghambat pembangunan dan kemajuan bangsa sudah saatnya dibedah dan diteliti dengan seksama, baik asal muasalnya atau pun penyebarannya. Bisa jadi sifat korupsi sudah membentuk gen tersendiri sehingga diperlukan juga pakar biologi molekuler untuk turut mengungkap dan mengetahui sifat korup dari akarnya (sifat bawaan). Bukankah sudah disinyalir dalam Islam bahwa makanan haram - baik zatnya maupun cara memperolehnya - yang diberikan kepada seseorang dikhawatirkan akan menjadikan anak keturunannya juga akan berperilaku buruk dan jahat ? Hal ini hanya bisa dijelaskan oleh ilmu biologi molekuler yaitu adanya perubahan genetik yang diturunkan pada generasi berikutnya yang berisi kode-kode genetik sifat jahat (korup) tersebut. Atau dengan kata lain seorang koruptor akan sangat memungkinkan untuk menurunkan keturunan yang juga menjadi koruptor nantinya. Seperti kalau ditinjau dari ilmu genekeologi mungkin bisa dipelajari sejarah keturunan seorang koruptor, apakah mungkin ada di antara nenek moyangnya yang terlibat atau menjadi seorang koruptor juga.

Selain itu perlu juga dipelajari sistem dan jaring penyebaran budaya korupsi. Bagaimana suatu kebiasaan yang pada awalnya berasal dari ruang lingkup kecil - perorangan - bisa menjadi suatu kebiasaan dan budaya yang melibatkan orang banyak. Dari hanya seorang koruptor kemudian bisa menularkan sifat buruknya sampai ke tingkat bagian, biro, departemen, sampai institusi negara. Dalam hal ini bisa dilibatkan pakar komunikasi dan pakar IT (Teknologi Informatika) untuk mempelajari kemungkinan adanya pengaruh perkembangan teknologi informasi seperti memasyarakatnya penggunaan telepon genggam terhadap berkembangnya korupsi di Indonesia.

Korupsi dikatakan sebaga bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi yang dilakukan oleh para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap kekuasaan Negara, dimana korupsi lahir dari penggunaan otoritas kekuasaan untuk menindas, merampok dan menghisap uang rakyat demi kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi Negara untuk melayani kepentingan rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap bagi rakyatnya sendiri. Relasi politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui pemerintah sungguh tidak seimbang. Hal ini berakibat kepada munculnya aristokrasi baru dalam bangunan pemerintahan kita. Negara dituding telah dengan sengaja menciptakan ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat. Kemiskinan yang semakin meluas, antrian panjang barisan pengangguran, tidak memadainya gaji dan upah buruh, anggaran social yang semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan, kesehatan, listril, BBM, telepon dll), adalah deretan panjang persoalan yang menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit. Bukankah ini akibat dari praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup?. Salah satu fakta penitng yang bisa kita saksikan adalah bagaimana pemerintah dengan lapang dada telah suka rela melunasi hutang-hutang Negara yang telah dikorup oleh pemerintah Orde Baru dulu. Di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), pemerintah mengalokasi anggaran kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar utang-utang luar negeri melalui IMF, Bank Dunia, Paris Club, CGI, serta lembaga donor lainnya. Belum lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh Negara. Alokasi pemabayaran utang-utang Negara akibat korupsi ini, akan menuai konsekuensi, yakni ; membebankan pembayaran utang tersebut kepada rakyat indoensia yang sama sekali tidak pernah menikmati utang-utang tersebut. Membebankan dengan memilih mencabut anggaran dan subsidi social bagi masyarakat. Membebankan dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan masyarakat. Sungguh tidak adil, “Koruptor yang menikmati, rakyat yang dikorbankan”!!!. Dari pemaparan tersebut, maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek korupsi merupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakat sendiri.

BUDAYA PEMICU KEMAJUAN BANGSA

BUDAYA KRITIK DAN MENGKRITIK

Budaya kritik mengkritik menjadi modal utama karena itu merupakan upaya untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Beberapa keuntungan dari budaya kritik mengkritik adalah yang pertama, terbentuknya sebuah keputusan atau kebijakan yang mampu untuk mencakup semua bagian tanpa adanya satu dua pihak yang terugikan. Yang kedua, budaya kritik mengkritik adalah upaya evaluasi untuk terus melakukan perbaikan dan juga kecocokan dengan situasi karena dunia kehidupan itu dinamis sehingga terkadang perlu adanya upaya untuk mereformasi suatu kebiasaan yang telah ada. Yang ketiga, terjadinya suatu kebiasaan baru yakni budaya keterbukaan dan ini yang paling penting karena budaya keterbukaan seperti ini menjadi penentu akan generalisasi kesejahteraan. Tidak heran jika Negara Amerika menjadi pusat para Ilmuwan, teoritikus dan juga para ahli disegala macam bidang karena mereka menjadikan budaya kompetisi – dalam konteks kebaikan – untuk semua kehidupan masyarakat di Negaranya. 
            Budaya kritik mengkritik dalam suatu Negara bisa mencakup banyak hal seperti: politik, edukasi, terkhnologi, kerja dsb. semua dituntut untuk senantiasa melakukan upaya perbaikan dan hasil yang maksimal. Kehidupan (politik, edukasi, tekhnologi) itu selalu terkait dengan kehidupan yang lain oleh karena itu bagaimana caranya sebuah kehidupan individu maupun kelompok mampu memberikan kontribusi yang baik bagi kehidupan lainnya. 
Menengok kehidupan di Indonesia yang kompleks dengan masalah di berbagai bidang alangkah baiknya menerapkan dan juga mengadopsi budaya kritik mengkritik yang terbuka. Budaya kritik mengkritik bisa disalurkan melalui banyak cara apakah melalui surat menyurat, media massa, atau antitesa jika dalam lingkup akadimis. Dari sinilah diharapkan timbul budaya kompetisi yang positif sehingga mampu secara bersama memajukan Bangsa. Media massa diharapkan mampu menjembatani sebagai sarana kritik mengkritik yang sopan dan etis. Baik media elektronik maupun tulis diharapkan mampu untuk memberikan dan menyalurkan suara, opini dan kritik suatu pihak kepada pihak yang lain. Efek dari adanya media massa akan menyebabkan efek kritik yang “booming” karena kritik dan opini akan dibaca semua orang bukan hanya pihak yang sedang dikritik.


1 komentar:

:) :( ;) :D ;;-) :-/ :x :P :-* =(( :-O X( :7 B-) :-S #:-S 7:) :(( :)) :| /:) =)) O:-) :-B =; :-c :)] ~X( :-h :-t 8-7 I-) 8-| L-) :-a :-$ [-( :O) 8-} 2:-P (:| =P~ :-? #-o =D7 :-SS @-) :^o :-w 7:P 2):) X_X :!! \m/ :-q :-bd ^#(^ :ar!
  1. mantap infonya bro thanks lutfimiftahudin.blogspot.com , sampahin aja comentnnya :D salam 1ia19

    BalasHapus