Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesiaadalah
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti
"tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah
religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja
re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan
berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim
mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas
kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai
umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan
kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi
ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan
kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama
itu. Agama merupakan
suatu lembaga atau institusi penting yang mengatur kehidupan rohani manusia.
Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik
persamaannya dan titik perbedaannya.
Fungsi Agama
Ada beberapa alasan
tentang mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain
adalah :
·
Karena agama merupakan sumber moral
·
Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
·
Karena agama merupakan sumber informasi tentang
masalah metafisika.
·
Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia
baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia sejak
dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak
mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati,
tetapi sedikit di antara mereka yang mensyukurinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa
dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari
luar dirinya. Godaan dan rayuan daridalam diri manusia dibagi menjadi dua
bagian, yaitu
·
Godaan dan rayuan yang berysaha menarik manusia ke
dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya
ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha
menarik manusia kepada hidayah ataukebaikan.
·
Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia
kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah,
yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan
Disinilah letak
fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang
baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.
Fungsi Agama Kepada Manusia
Dari segi
pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh
fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan
hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain
seperti apa yang dihuraikan di bawah:
-
Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatankan
memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan
mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam
dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia
manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam
menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap
manusia harus menaati Allah SWT
-Menjawab berbagai persoalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah soalan
yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh
akal manusia sendiri. Contohnya soalan kehidupan selepas mati, matlamat
menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk
menjawab soalan-soalan ini.
-
Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu
faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama
menimbulkan keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku,
pandangan dunia dan nilai yang sama.
–
Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di
dunia adalah menyaran kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya
telah menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini
dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial
Fungsi Sosial Agama
Secara sosiologis,
pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif
atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat
negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah
(desintegrative factor).
Pembahasan tentang
fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor
integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama
sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan
suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun
dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini
dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung
bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya
konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama
memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara
eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan
peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan
menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari
begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga
seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
Perlembagaan Agama
Sebenarnya apa
yang dimaksud dengan agama? Kami mengurapamakan sebagai sebuah telepon. Jika
manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama adalah media perantara seperti
kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat telepon kita dengan Telkom atau
dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh
pemerintah dan berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama.
Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari
lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut
bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan
penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi
peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan” antara
lembaga agama dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan.
Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau
pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi
sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan
(kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah
lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau
tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia
atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama
monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan
berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di
luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima
agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari
lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum selesai.
Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya
sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan
keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam
kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang
dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis,
umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula
pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah
dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan
siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi
kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desadesa.
Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang
bagi para pelaku pariwisata, maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah
upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama
sukuyang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan
tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan
hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan
antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan
semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang
sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang
diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin
menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari
salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
Agama, Konflik dan
Masyarakat
Secara sosiologis, Masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita
adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan
sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan
sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya
pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling
sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap
kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah
yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan
sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika
seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya.
Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara
objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved
(terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia
involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan
sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism,
bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita
harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam
masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh
pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok
agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan
kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu,
tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh
perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian
juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang
didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana
tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok
agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada
pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam
UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara
memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari
negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin
kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan
keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung
membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya
kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan
pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan
konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu
tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum
minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks
relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab
masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori
konflik.
Konflik
yang ada dalam Agama dan Masyarakat
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh.
Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada
rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun
hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi
konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi
dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh
pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok
agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan
kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu,
tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan
sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga
terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang
didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana
tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok
agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada
pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam
UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara
memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari
negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin
kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan
keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung
membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya
kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan
pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan
konstitusi di Indonesia. Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah
ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan
terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah
dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa
untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis
sosiologis: teori konflik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar